DEATH ARE PENDING
Aku
Tachibana Myuura. Aku dilahirkan oleh keluarga yang terpandang di Indonesia.
Sebenarnya, aku dan keluargaku asli orang Jepang. Tetapi, karena alasan
pekerjaan, ayah memutuskan untuk pindah ke Indonesia. Ada satu alasan lagi,
yaitu karena di Jepang, ayah memiliki musuh yang cukup hebat. Dia bahkan pernah
membuat perusahaan ayahku bangkrut. Untunglah ada sahabat ayahku, Mr. Mikoto,
yang kemudian membantu ayah mendirikan perusahaan yang baru.
Di umurku yang sebentar lagi
beranjak 16 tahun, aku ingin membuat diriku merasakan jatuh cinta untuk pertama
kalinya. Tapi masalahnya, aku sama sekali tidak mengerti apa itu cinta. Mungkin
ini terdengar konyol untuk kalian yang sudah mengerti cinta. Asal kalian tahu,
aku ingin merasakan jatuh cintaku yang benar-benar berasal dari lubuk hatiku,
bukan dari penampilannya. Namun, mengerti cinta pun aku tidak tahu. Jadi,
bagaimana aku bisa merasakan cinta yang sebenarnya?
Malam
hari yang indah. Aku melihat beberapa bintang di atas langit. Aku juga melihat
bulan sabit tersenyum yang bersinar dengan terang. Sungguh indah malam ini.
Bahkan, saking terpesonanya, aku sampai lupa bahwa waktu sudah larut malam.
“Miu, kau belum tidur?” sahut
seseorang dari arah belakang. Suara derak kakinya dapat kupastikan, dia
menghampiriku.
“Tidurlah, ini sudah larut
malam,” ucapnya sambil tersenyum kepadaku.
“Ya,” jawabku, lalu aku pergi
beranjak menuju kamar.
“Oyasuminasai (Selamat malam),”
bisik Okaasan lembut, lalu mengecup dahiku.
Esoknya,
aku pergi ke sebuah toko buku. Rencananya aku ingin membeli buku novel yang
menceritakan tentang kisah cinta pertama. Tapi…
“Astaga, aku lupa membawa uang!”
seruku ketika akan membayar.
“Anda ini bagaimana, sih. Masa’
lupa membawa uang,” ujar salah seorang petugas kasir dengan tampak yang sedikit
tersenyum. Wajahku seketika memerah dan tidak mampu berkata-kata. Aku malu
sekali!
“Ini, kau pakai uangku dulu
saja!” sahut seorang lelaki yang sebaya denganku seraya menyodorkan uang
kepadaku.
“Eh, anu… tapi…,” aku bingung harus
menerimanya atau tidak.
“Sudah terima saja,” ucapnya
dengan lembut sambil tersenyum. Senyumannya benar-benar tidak dapat kulukiskan.
Aku pun jadi tidak bisa menolak setelah melihat senyumannya. Tunggu, jantungku
kenapa berdebar-debar?
“A… arigatoo (terima kasih),” aku
sedikit ragu-ragu menerima uangnya, sehingga aku berbicara dengan sedikit
terbata.
“Arigatoo?” katanya tak mengerti
maksudku.
“Ah, maaf, kamu tak mengerti, ya!
Arigatoo itu dalam bahasa Jepang berarti terima kasih,” jawabku setengah berteriak.
“Oh, begitu. Aku Axle, kamu
siapa?”
“Aku Miu. Salam kenal!” ucapku,
yang kemudian membungkukkan badan.
“Ah, iya, aku sedang ada urusan.
Sampai jumpa!” sahutnya sambil melambai-lambaikan tangannya.
“Ah, tunggu!” seruku. Tapi
terlambat, Axle telah menghilang dari pandanganku. Cepat sekali, pikirku.
Aku menatap ke arah uang yang
kugenggam dengan erat. Bagaimana caranya mengganti uang ini? Kataku dalam hati.
“Hei, dengar-dengar, katanya jika
kita tidak percaya pada Death Are Pending. Kita akan didatangi si misterius
Hell Boy. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, yang menjadi Hell Boy adalah
orang yang kita sukai!” ujar salah seseorang pada temannya, yang berada di
sampingku.
Oh, rumor Death Are Pending, ya?
Aku, sih, tidak akan pernah percaya dengan rumor seperti itu, pikirku dalam
hati.
Saat perjalanan pulang, tanpa
sengaja aku bertemu dengan musuh lamaku. Namanya Myahara. Dia adalah anak dari
Mr. Harashi, musuh ayahku. Dulu aku sempat berteman dengannya. Bahkan, bukan
sebagai teman, melainkan sahabat.
“Miu,” ucapnya. Aku tidak
mengacuhkannya, dan terus berjalan. Jika kami sampai bertengkar kembali,
keluargaku dengannya akan semakin bertentangan.
“Miu tunggu!” serunya. Aku
menghentikan langkah, lalu menoleh ke arahnya.
“Ada perlu apa, Mia-san (nona
Mia),” kataku dengan senyuman yang sinis.
“Ja… jangan panggil aku dengan
sebutan seperti itu!” bentaknya merasa tak terima. “Kh… sudahlah. Jangan
dipikirkan,” tambahnya menenangkan diri sendiri.
“Cepatlah bicara, aku sedang
buru-buru. Lagipula, kenapa kau datang ke Indonesia? Oh, aku tahu, pasti kau
dan keluargamu akan menghancurkan perusahaan ayahku lagi. Jangan berharap untuk
kedua kalinya!” jawabku sedikit emosi.
“Lalu apa?!” aku semakin emosi
ketika melihat wajah sedihnya.
“Emm… aku pergi ke Indonesia,
karena aku ingin minta maaf padamu!” ujarnya sambil menundukkan kepala.
“Apa?” desisku. Aku tak percaya,
dia meminta maaf padaku? Tapi, mungkin saja ini akal-akalannya dengan kembali
menjadi sahabatku, diam-diam dia menghancurkan perusahaan ayahku lagi. Aku
tidak boleh tertipu!
“Aku sadar, ternyata aku sudah
sangat berlebihan padamu. Aku sadar, jalan yang kupilih selama ini hanya akan
membuatku terpuruk ke dalam kesedihan,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca,
seperti ingin menangis. “Jadi, kumohon maafkan aku.”
“Untuk apa aku memaafkanmu. Dasar
bodoh!” kataku dengan kesal. Lalu, pergi meninggalkannya. Berkali-kali dia
memanggilku, tapi aku mengacuhkannya. Aku tidak akan tertipu untuk kedua
kalinya.
“Miu!” panggil seseorang.
Rasanya, aku seperti pernah mendengar suara ini.
“Axle?” kataku tidak percaya,
setelah menoleh ke arahnya.
“Kau ingin pulang, ya? Bareng,
yuk!” sahut Axle yang tersenyum kepadaku. Lagi-lagi, jantung berdebar melihat
senyumannya. Apa jangan-jangan, ini yang dimaksud jatuh cinta?
“Ng…,” aku agak malu melihat ke
arahnya. Aku malu menunjukkan wajah memerahku.
“Sudah, ayo!” ujarnya yang
kemudian menggenggam tanganku. Jantungku rasanya seperti ingin meledak. Tapi
aku senang, karena dapat berada di samping laki-laki ini.
“Lho, Miu?” tanya seseorang. Aku
menatap orang itu, ternyata dia adalah sahabatku, Clara. “Kamu sudah punya
pacar?” tambahnya yang semakin membuat wajahku memerah.
“Eh, tidak! Kami hanya baru
berteman!” kataku, lalu melepaskan genggaman tangan Axle. Clara menatap sinis
ke arahku.
“Benarkah?” kata Clara. “Oh, ya,
hari ini aku mengikuti les. Selamat bersenang-senang!” lanjutnya dengan wajah
yang berubah 180 derajat.
Aku merasa sedikit lega, setelah
Clara pergi. Kalau dipikir-pikir, biasanya ketika aku berada di samping
laki-laki. Aku tidak pernah semalu ini. Apa benar ini artinya aku jatuh cinta?
Ctek! Suara jari jempol dan
tengah yang bergesekkan, dari arah Axle.
“Eh, Axle, ada apa? Kenapa kau…?”
“Tidak ada apa-apa, kok!”
jawabnya yang menyela pembicaraanku. Dia tersenyum. Tapi, aku merasa sedikit
bingung, karena senyumannya yang satu ini terlihat tidak tulus.
Ckiiittt… Brak! Suara itu
tampaknya suara mobil yang menabrak seseorang. Tanpa ragu, semua orang,
termasuk aku dan Axle, berbondong-bondong menghampiri sumber suara. Betapa
terkejutnya aku, setelah melihat orang yang ditabrak mobil itu.
“Tidak mungkin… Clara?” ucap
dengan air mata yang mulai membasahi pipiku. Padahal, tadi aku bicara
dengannya. Dan sekarang, aku harus kehilangannya?
“Tidak, Clara!” teriakku sambil
memeluk mayat sahabatku, Clara.
“Miu?”
sahut okaasan padaku yang tengah duduk termenung di kasur. Aku hanya diam, tak
percaya harus kehilangan sahabatku secepat ini. Aku sendiri bingung, karena
kejadiannya begitu cepat. Aku bahkan, tidak tahu harus bertindak seperti apa.
“Miu, okaasan mengerti
perasaanmu. Tapi, bisakah kau lupakan yang lalu dan sambutlah yang baru,”
nasihat okaasan yang terdengar sangat tulus. Sejujurnya, aku ingin
melakukannya. Tapi, aku masih tak terima dengan yang terjadi hari ini.
“Tidak bisa. Aku… aku… tidak
bisa…!” aku menangis, okaasan memelukku. Aku serasa lebih tenang ketika di
peluk oleh okaasan. Tangannya yang halus, mengelus-elus rambutku.
“Kau pasti bisa, Miu,” ucap
okaasan dengan lembut. “Oh, ya, apa kau tahu apa itu Death Are Pending?” lanjut
okaasan bertanya.
“Ya, aku tahu. Death Are Pending
adalah rumor yang konyol,” jawabku melepas pelukan okaasan.
“Begitu, ya? Apa pun yang kau
katakan, okaasan akan selalu percaya padamu,” ujar okaasan sambil tersenyum
padaku. Aneh, aku merasakan firasat buruk setelah mendengar okaasan berbicara
seperti itu.
Beberapa
hari kemudian. Tersiar kabar yang mengejutkanku. Okaasan dan ottosan (ayah)
meninggal dunia akibat terjatuh dari lantai 7 di kantor tempat okaasan dan
ottosan bekerja. Dan setelah itu, Axle-lah yang selama ini menghiburku.
Harus kehilangan orang yang
disanyangi memang sangat menyakitkan. Dan ini… tidak bisa dibiarkan! Aku harus
mencari tahu penyabab dari semua ini!
Aku berjalan melewati zebra
cross. Tanpa diduga, tiba-tiba sebuah mobil menghampiriku dengan kecepatan
tinggi. Kakiku bergetar, aku tidak bisa bergerak!
Ketika aku membuka mata, ternyata
aku masih hidup. Tapi, siapa yang telah menolongku? Tiba-tiba, pandanganku
tertuju pada sesosok lelaki yang tengah berdiri di hadapanku.
“Kamu tidak apa-apa, Miu?”
ujarnya, lalu dia membantuku berdiri.
“Axle, terima ka…,” belum sempat
aku selesai bericara. Tiba-tiba, Axle memelukku. Aku terkejut dan mukaku
memerah seketika.
“Eh, Axle? A… apa?” kataku terbata
saking malunya.
“Miu, aku tahu ini egois. Tapi,
aku mencintaimu,” ucap Axle. Aku senang dengan kata-katanya barusan. Tapi, aku
bingung harus jawab apa.
“Aku mencintaimu, oleh karenanya,
aku tidak mau melihatmu menderita ataupun terluka,” tambah Axle. Lagi-lagi,
jantungku berdebar kencang. Aku senang, senang sekali. Sekarang, aku jadi
mengerti apa itu cinta.
“Aku juga, aku mencintaimu sejak
pertama kali kita bertemu,” jawabku tanpa ada rasa ragu, karena aku yakin,
cinta yang saat ini kumiliki, berasal dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Kulihat, seseorang keluar dari
pintu mobil yang hampir menambrakku. Hatiku serasa terbelah menjadi dua,
setelah menyadari siapa orang itu. Apakah, dia yang selama ini membuatku
menderita. Hingga telah membunuh orang-orang kusanyangi. Dia… jangan-jangan dia
ingin balas dendam?! Tidak, jangan sampai target selanjutnya adalah Axle!
“Mia?! Tak kusangka, jadi kau
penyebab semua ini!” teriakku membuat semua orang yang ada di sekitarku menoleh
ke arah kami bertiga.
“Eh, apa maksudmu, Miu?” tanya
Mia seolah-olah merasa dirinya tidak bersalah.
“Jangan sok tidak tahu menahu!
Lebih baik mengaku, daripada kau menyesal nantinya!” ujarku dengan nada yang
tinggi. “Kau, kan, yang telah membunuh Clara, okaasan dan ottosan. Bahkan, kau
hampir membunuhku!” lanjutku dengan nada yang semakin meninggi.
“Ti… tidak. Aku bahkan, tidak
tahu apa-apa,” jawabnya melemas. Aku benar-benar tidak menyangka, dia masih
saja tidak mau mengakuinya juga. Lihat saja nanti, kebenaran akan terungkap dan
perusahaan keluargamu akan bangkrut!
“Miu, apa yang terjadi di antara
kalian?” tanya Axle yang sedari tadi hanya diam.
“Akan kujelaskan nanti. Ayo, kita
pergi, Axle!” perintahku, lalu aku menarik tangan Axle dengan sedikit kasar.
Seminggu berlalu, aku berhasil
menjebloskan keluarga Mia ke dalam mimpi buruk. Perusahaannya bangkrut, dan Mia
dinyatakan bersalah atas tudinganku yang mengatakan dia ingin mencelakaiku.
Tapi, karena Mia masih berumur di bawah 17 tahun, ayahnya-lah yang harus
menggantikan Mia dipenjara.
Aku sekarang merasa puas. Aku
puas karena bisa membalaskan apa yang telah kurasakan selama ini. Melihat orang
yang sudah membuatku menderita menjadi menderita, itu sudah cukup. Mulai saat
ini, siapa pun tidak akan ada yang bisa menandingiku dan keluargaku!
“Miu, ada yang ingin
kubicarakan,” pinta Axle.
Di sebuah tempat, tepatnya di
lantai atas gedung yang terakhir. Axle, kenapa dia mengajakku ke tempat seperti
ini? Pikirku.
“Miu, kurasa ini sudah sangat
keterlaluan. Sebaiknya kau maafkan saja dia,” ujar Axle memulai membuka
pembicaraan.
“Apa? Itu tidak mungkin! Aku
tidak bisa melakukannya, karena itu memang sudah sepantasnya untuk mereka!”
bentakku.
Axle menyentuh kedua pipiku.
“Dengar, mereka tidak bersalah.
Mereka sama sekali tidak terlibat dalam kasus pembunuhan sahabat dan orang
tuamu!” ujar Axle menyakinkanku.
“Itu tidak mungkin. Jelas-jelas
merekalah yang melakukan itu semua! Aku tahu, pasti mereka melakukan ini semua,
agar dalam bisnis mereka, mereka tidak akan mendapat saingan!” jawabku tidak
mau kalah.
“Miu, kau tahu apa itu Death Are
Pending?” tanya Axle sambil menundukkan kepalanya dan masih menyentuh pipiku.
“Selama ini, kau tidak
mempercayai rumor tersebut, kan? Asal kau tahu, rumor Death Are Pending, benar
adanya,” tambah Axle. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.
“Death Are Pending adalah rumor
yang mengatakan, jika kau tidak percaya pada rumor tersebut. Maka kau akan
didatangi oleh si misterius Hell Boy. Hell Boy diperintahkan untuk membunuh
orang yang tidak percaya pada rumor itu. Hanya saja, tertunda. Yang lebih dulu
dihabisinya, adalah orang-orang yang disanyangi orang tersebut. Dan yang lebih
mengejutkan, yang menjadi Hell Boy, adalah orang yang disukai,” jelas Axle
panjang lebar. Aku terkejut setelah mendengar penjelasan dari Axle. Orang yang
disukai? Berarti…?
“Hell Boy, bunuh dia!” perintah
seorang laki-laki yang tidak aku kenali, yang tiba-tiba saja muncul di belakang
Axle.
Axle tampak mengambil pisau saku
dari dalam kantung celananya. Dia menggenggam pisau tersebut dengan tangan yang
bergemetar.
“Axle…?” ucapku tak percaya.
Jadi, selama ini, Axle-lah yang telah membutuh Clara, okaasan, dan ottosan?!
Aku tidak mampu berbicara dan
bergerak. Sekujur tubuhku serasa kaku. Aku menyesal sekaligus merasa bersalah
pada Mia. Ternyata dia, benar-benar tulus ingin menjadi sahabatku lagi.
“Miu, maafkan aku, karena aku
telah membunuh ketiga orang yang kau sanyangi. Jika aku tidak melakukan itu
semua, maka taruhannya adalah seluruh keluargaku. Aku menyesal, Miu. Aku
menyesal!” kata Axle menyesali semua perbuatannya. Dia menangis tersedu-sedu,
membuatku ikut mengeluarkan air mata.
“Cepat lakukan, Hell Boy!”
perintah sosok laki-laki itu lagi.
“Ti… tidak bisa. Aku tidak bisa,
membunuh orang yang kucintai!” bentak Axle yang tangisannya terdengar lebih
keras.
“Dasar bodoh. Berikan pisaunya
padaku!” pinta laki-laki itu, lalu mengambil paksa pisau yang digenggam Axle.
“Selamat tinggal, Tachibana Myuura!”
Crash! Apa? Tidak sakit. Apa aku
sudah mati? Apa…?
Aku terkejut, setelah kubuka
mataku lebar-lebar. Ternyata, Axle menolongku dengan cara membiarkan tubuhnya
yang tertusuk pisau.
“Ti… tidak, Axle?!” ucapku
terbata.
“Miu, aku akan selalu
mencintaimu. Sekarang, selamatkan-lah dirimu. Larilah!” perintah Axle sambil
terus menahan lelaki itu. Padahal, nyawanya sedang sekarat. Tapi…
Drap! Aku berlari menuju tangga.
Maafkan aku Axle, aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu!
“Tidak akan kubiarkan kau lolos!”
ancam laki-laki itu. Aku terus berlari, berlari, dan berlari tanpa henti. Tanpa
kusadari, ternyata laki-laki itu sudah berada di hadapanku. Laki-laki itu
bersama dengan… Mia?!
“Ukh…,” keluh Mia, karena saat
ini dia dicekik oleh laki-laki misterius tersebut.
“Sekarang kau pilih. Nyawamu,
atau nyawa sahabatmu?” tanya laki-laki itu.
“Miu, biarkan saja aku. Ambil
jimat ini!” perintah Mia seraya melemparkan sebuah kalung berwarna coklat.
Tapi, karena aku tidak bersiap-siap, kalung itu terjatuh ke lantai.
“Ji… mat?” ucapku sedikit
bingung.
“Ya, jimat itu pemberian dari
nenekku. Ambil dan pakailah jimat itu, dengan begitu, kau akan terbebas dari
roh terkutuk ini! Tapi, jika kau melepaskannya. Dia akan datang kembali
padamu!” jelas Mia.
“Hhh… kalau kau mengambil kalung
itu. Berarti kau telah memilih nyawamu!” ucap laki-laki itu, yang membuatku
semakin bingung harus pilih yang mana.
“Cepat ambil!” perintah Mia
dengan nada yang keras.
Tiba-tiba, aku merasa tanganku
bergerak dengan sendirinya. Aku mengambil jimat itu, lalu memakainya. Detik
yang sama, Mia akhirnya mati dibunuh oleh laki-laki itu. Lalu, laki-laki itu
menghilang entah kemana.
Selama aku memakai jimat ini. Dia
tidak akan pernah datang lagi. Axle, Mia, terima kasih. Berkat kalian, aku
selamat dari roh terkutuk rumor Death Are Pending itu. Aku tak akan pernah
melupakan jasa kalian.
Arigato gozaimasu (terima kasih
banyak).